Katanya Masyarakat Agraris, Kok Petaninya Miskin?*

Moh. Luthfi
11 Min Read
Katanya Masyarakat Agraris, Kok Petaninya Miskin?* (Ilustrasi)
Katanya Masyarakat Agraris, Kok Petaninya Miskin?* (Ilustrasi)

Pertanian menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari aktivitas kehidupan pedesaan. Dari pertanian ini kebutuhan pangan bisa terpenuhi. Kebutuhan terhadap hasil pertanian akan terus bertambah seiring dengan bertambahnya pertumbuhan penduduk. Ditambah lagi dengan adanya krisis pangan, maka pangan akan menjadi primadona di pentas ekonomi global.

Masalahnya adalah meskipun kebutuhan pangan terus meningkat dan harga terus naik, petaninya terus miskin dan tetap tidak bisa menikmati dari momentum lonjakan permintaan hasil pertanian dan kenaikan harga pertanian.

Dalam konteks ke indonesiaan khususnya pedesaan, mengingat kekayaan alam yang melimpah dan keberagaman iklim yang mendukung pertumbuhan berbagai jenis tanaman. Maka secara rasional petani Indonesia harusnya sejahtera secara ekonomi.

Memang sebuah paradoks para petani di pedesaan masih berada di garis kemiskinan disaat permintaan dan harga pangan yang tinggi. Data BPS per pebruari 2024, dari 27.76 juta penduduk miskin di Indonesia, 17,28 juta berasal dari penduduk pedesaan yang rata-rata sebagai petani. 

Fenomena di atas memang menjadi culture tersendiri sejak zaman dahulu dimana sektor pertanian masih dianggap profesi yang berada di zona kemiskinan. Hal yang paling krusial adalah kebijakan yang menjadikan petani sebagai “mesin produksi” untuk peningkatan produksi pangan, sedangkan para petaninya tidak bisa menikmati kesejahteraan dan harus tetap miskin. 

Berikut ini beberapa faktor yang menyebabkan kemiskinan para petani tidak pernah bergerak ke arah kesejahteraan.

Minimnya Akses Pendidikan Yang Berkualitas

Ketidakcukupan akses terhadap pengetahuan, teknologi, pasar, dan sumber daya lainnya menjadi salah satu pemicu pertanian di pedesaan mengalami hambatan. Karena tanpa peningkatan pengetahuan dan keterampilan petani mengenai praktek pertanian modern, maka mustahil untuk meningkatkan kualitas pertanian dan hasil pertanian.

Akses Pendidikan yang berkualitas harusnya diperhatikan serius oleh pemerintah. Kita tidak bisa hanya mengandalkan infrastruktur dan subsidi pertanian saja, tetapi mindset dan sumber daya para petani dibiarkan. Investasi keterampilan pertanian dapat membantu para petani beradaptasi dengan perubahan iklim dan teknik pertanian yang lebih efisien.

Akses informasi pengetahuan dan Keterampilan merupakan bagian integeral dari kebjiakan prioritas. Pendidikan yang dimaksud bukan terfokus pendidikan formal tetapi “akses pendidikan yang berkualitas” berbasis kemandirian intelektual. Kalau hanya mengandalkan pendidikan formal, banyak sekali alumni jurusan pertanian tetapi nyatanya mereka tidak tertarik terjun langsung dipertanian. Apalagi alaumni sarjana yang tidak bisa berbuat untuk peningkatan mutu pertanian dan kesejahteraan petani.

Dalam upaya meningkatkan kesejahteraan petani, salah satu solusi yang dapat diimplementasikan adalah penerapan tekonogi pertanian ramah lingkungan. Teknologi ramah lingkungan ini mencakup penggunaan alat dan mesin yang efisien, sistem irigasi pintar, serta aplikasi berbasis data yang dapat membantu petani membuat Keputusan.

Selain teknologi, penguatan kelembagaan juga harus menjadi kunci untuk membangus kapasitas petani. Koperasi pertanian dan kelompok tani menjadi wadah bersatunya petani yang nantinya memiliki kekuatan untuk negoisasi harga dan mendapatkan akses modal yang lrbih baik. Masalahnya koperasi dan kelompok tani kebanyakan menjadi wadah menerima bantuan dan subsidi pupuk. Bahkan krusialnya banyak oknum aparat yang bermain di lembaga tersebut. 

Rendahnya Kebijakan Yang Mengarah Langsung Ke Kesejahteraan Petani

Selama ini kebijakan yang dilakukan adalah terlalu fokus kepada “peningkatan produksi pangan” dan minim upaya peningkatan kesejahteraan petani. Hasilnya secara statistik hasil produksi pertanian meningkat di sisi lain kehidupan petani stagnan di kemiskinannya. 

Kejadian ini menjadikan petani hanya sebagai “mesin produksi”. Seolah-olah petani harus bekerja keras terlebih dahulu baru kalau beruntung mendapatkan kesejahteraan ekonomi. 

Kebijakan subsidi yang diberikan seperti pupuk, bibit unggul, kredit modal dan infrastruktur semuanya diarahkan kepada peningkatan produksi. Justru yang menikmati kebijakan ini adalah industri hulu seperti perusahaan penyedia faktor produksi karena memiliki kekuatan modal dan portofolio usaha.

Kebijakan penetapan harga eceran tertinggi harusnya dilakukan dalam rangka melindungi para petani di saat panen raya dimana harga hasil pertanian sangat murah dan tidak seimbang dengan biaya produksi yang terus naik. 

Artinya tidak cukup hanya dengan peningkatan produksi pertanian tetapi mekanisme dan regulasi perlindungan harga jual perlu diprioritaskan untuk meningkatkan kesejahteraan petani lokal di samping SDM petani yang harus dirubah agar lebih produktif dan inovatif.    

Masalah Tengkulak

Tengkulak adalah istilah yang sering digunakan dalam konteks pertanian untuk menggambarkan perantara yang menghubungkan petani dengan pasar. Tengkulak di satu sisi dapat membantu penjualan hasil pertanian termasuk juga membantu modal untuk bertani. Tetapi sisi lain menimbulkan negatif karena  tengkulak mengambil hasil dari memanfaatkan dari kemudahan transaksi tersebut.

Salah satu isu paling buruk adalah tengkulak sering bertindak sebagai perantara antara petani dan pasar dengan menetapkan harga beli sangat murah. Hal ini membuat petani menerima komisi yang tidak sebenarnya. Ketidakadilan ini membuat petani mengalami kerugian ekonomi dan mempengaruhi kondisi finansial secara keseluruhan.

Selain itu, potensi “eksploitasi” oleh tengkulak juga masalah menghawatirkan. Dalam situasi tertentu tengkulak sering memanfaatkan ketergantungan petani pada mereka. Pertama, karena kurangnya akses ke pasar yang luas. Petani di pedesaan tidak punyak pilihan lain selain menjaual kepada tengkulak. 

Kedua, modal yang berhutang kepada tengkulak. Tekanan hutang modal ini membuat petani merasa berhutang jasa dan takut tidak diberi pinjaman modal saat bertani lagi sehingga berapapun harganya, petani menjual kepada tengkulak.

Dalam keadaan dua situasi tersebut, tengkulak dapat mudah menerapkan praktek yang merugikan petani, seperti harga murah, penundaan pembayaran, atau pengenaan biaya yang tidak transparan. Hal ini semakin membebani petani, yang harus berjuang untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.

Harusnya pemerintah hadir untuk memberikan akses modal yang rendah bunga atau memberikan alternatif pasar kepada petani sebagai model distrubusi yang dapat meningkatkan nilai tawar petani. Sehingga petani dapat keuntungan yang lebih baik.  

Rantai Transaksi yang Panjang

Petani tidak bisa langsung menjual hasil pertanian ke konsumen. Rantai penjualan pertanian di pedesaan melibatkan beberapa pihak mulai dari petani, pengepul, pedagang grosir, serta pengecer baru ke konsumen.

Dalam banyak kasus, petani menerima keuntungan yang sangat sedikit dibandingkan harga jual yang dibayarkan kepada konsumen. Setiap perantara yang ada pada rantai ini berpotensi mengambil margin keuntungan yang semakin besar, yang pada gilirannya akan mengurangi harga yang diterima konsumen.  Sebagian besar petani di pedesaan terjebak dalam kondisi dimana mereka harus menjual pertanian dengan harga yang jauh lebih rendah dibandingkan dengan harga jual di pasar akhir.

Fluktuasi harga yang terjadi di pasar sering kali tidak mencerminkan peningkatan pendapatan petani. Dengan harga yang tidak stabil dan cenderung murah di petani diiringi biaya produksi yang terus meningkat, petani harus mengahdapi resiko yang lebih besar.

Hal tersebut menciptakan kemiskinan yang sulit diputus, Dimana pendapatan petani justru menurun seiring seiring semakin tinggi jumlah perantara dalam rantai distribusi. Dengan semakin banyaknya pihak yang terlibat, kekuatan nilai tawar petani menjadi berkurang. Sehingga petani semakin rentan terhadap kondisi pasar yang tidak menguntungkan.

Pemerintah dan lembaga swadaya memiliki peran penting dalam menciptakan ekosistem yang mendukung alternatif model distrubsi. Memperpendek rantai penjualan adalah langkah konkrit dalam meningkatkan kesejahteraan petani.

Salah satu Solusi adalah pengembangan inisatif lokal yang menghubungkan petani langsung dengan konsumen.  Seperti pasar petani local yang dapat menjadi platform yang efektif untuk menjual produk pertanian tanpa melalui perantara yang sering mengambil keuntungan.

Mendirikan koperasi pertanian dan kelompok tani juga salah satu Solusi alternatif model distribusi. Dua Lembaga ini bukan hanya sekedar wadah menghimpun hasil pertanian apalagi hanya wadah mendapatkan subsisdi dan bantuan. Tetapi lebih berfungsi sebagai platform untuk negoisasi harga yang adil.

Selain koperasi, pemasaran langsung menjadi alternatif yang efektif. Melalui pemasaran langsung yang dibantu pemerintah, petani dapat menjual hasil pertanian secara langsung ke konsumen, baik melalui pasar pertanian, bazar, atau pasar online. Model ini tidak hanya memutus perantara, tetapi petani memunkinkan untuk mendapatkan harga yang lebih layak.

Dalam era digital, pemanfaatan teknologi informasi melalui platform digital menjadi Langkah strategis. Berbagai aplikasi dan situs web ini memunkinkan petani untuk menjual hasil pertanian secara online. Hal ini tidak hanya membuka akses pasar yang lebih luas, tetapi juga mempercepat transaksi dan memberikan informasi pasar yang diperlukan untuk mengambil Keputusan. 

Biaya Produksi yang Mahal

Biaya produksi pertanian yang terus meningkat dan harga hasil pertanian yang tidak layak, menjadikan rantai kemiskinan terus berlanjut di kalangan petani pedesaan. Biaya ini mencakup biaya input seperti benih, pupuk dan pestisida, biaya tenaga kerja dan alat pertanian.

Dalam beberapa tahun ini, biaya produksi pertanian telah menjadi masalah yang semakin nyata bagi petani, yang dapat mempengaruhi kemampuan petani untuk bertahan hidup dan berinvestasi dalam usaha mereka. Hal ini berujung pada tekanan keuangan yang semakin tinggi, membuat petani pedesaan terjebak dalam siklus utang baik kepada tengkulak, rentenir atau perbankan yang sulit untuk diatasi.

Ketika pendapatan dari hasil pertanian tidak sebanding dengan total biaya yang dikeluarkan, petani terpaksa meminjam uang untuk menutupi kekurangan tersebut, yang pada gilirannya semakin menambah beban utang mereka. Meskipun petani menginvestasikan waktu, tenaga, dan uang yang besar, hasil yang mereka terima tidak sebanding dengan usaha yang dilakukan.

Untuk meredam biaya produksi pertanian di atas perlu dilakukan langkah strategis. Pertama, penerapan teknologi pertanian ramah lingkungan yang lebih efisien. Kedua, akses ke pendanaan yang lebih baik. Banyak petani kesulitan memperoleh pinjaman dari Lembaga keuangan yang rendah bunga. Akhirnya terpaksa mereka berhutang kepada rentenir dan tengkulak.

Ketiga, kebijakan pemerintah yang mendukung petani harus diperkuat. Pemerintah harus merumuskan kebijakan yang memberikan instensif kepada petani untuk mengadopsi praktek berkelanjutan dan teknologi baru.

Keempat, pelatihan petani. Melalui program edukasi yang menyediakan  pengetahuan tentang praktek pertanian terbaik, manajemen keuangan, dan strategi pemasaran, petani dapat membuat Keputusan yang lebih baik dan efisien.

Selain itu, penting untuk memberi perhatian pada keberlanjutan lingkungan dalam setiap pelatihan agar petani dapat menjaga kesuburan tanah dan keanekaragaman hayati.

*hasil diskusi rumah niaga terhadap pertanian jagung

Share This Article