niagamedia – Fenomena pengangguran terdidik alias kaum lulusan pendidikan tinggi yang langsung jadi pengangguran memunculkan pertanyaan mendalam tentang tujuan sejati dari pendidikan tinggi.
Setelah meraih gelar sarjana, para lulusan dihadapkan pada tekanan untuk mencari pekerjaan, entah itu mau masuk di lembaga negara atau perusahaan swasta.
Namun, pertanyaan mendasar muncul: apakah pendidikan kita didesain hanya untuk mencetak karyawan atau pegawai, dan tidak lebih dari itu?
Salah satu guru saya saat masih SMA pernah bilang sama saya, “Sekolah itu hanya mencetak karyawan, mereka tidak pernah diajarkan sama sekali tentang mindset enterpreneurship. makanya, saat menghadapi sebuah problem, rata-rata mereka para lulusan pendidikan kebingungan, dan tak pernah mencari solusi terhadap kebingungannya tersebut.” Begitulah kata guru saya.
Ya memang, banyak sekali fenomena-fenoma seperti, kenapa saya juga berasumsi seperti itu. Kejadiannya, dulu saya pernah gabung beberapa group fb info loker Sumenep, dan banyak sekali di group yang story “Info lokernya maseh,” dan kemudian saya cek profil FBnya, mereka bahkan ada yang sudah lulus perguruan tinggi.
Dan lagi, diantara sekiannya banyak teman saya, perbandingannya hanya 1/10 yang mau diajak untuk berwirausaha, rata-rata enggan, dikarenakan alasan malu, tidak bakat, atau penghasilan tidak pasti. Di mindset mereka, yang ada cuma hal “instant, gaji tetap, enak”. Yang tentunya embuat saya tepok jidat akan hal itu. Ya mau gimana lagi.
Ketika saya merenung lebih dalam, terlihat jelas bahwa pelajaran tentang enterpreneurship sangat minim dalam kurikulum pendidikan kita, yang tentunya menurut itulah faktor mengapa lulusan-lulusan pendidikan bisa memiliki mindset seperti itu.
Di sekolah. Seperti bisnis, kewirausahaan, dan keterampilan berwirausaha hanyalah opsional, bukan fokus utama. Sementara itu, sebagian besar kurikulum terpusat pada teori dan konsep, bukan penerapan praktis dalam menciptakan peluang bisnis sendiri.
Ya memang, kalo toh Pendidikan kita untuk perusahaan, tidak dapat dipungkiri bahwa memiliki karyawan yang berkualitas adalah penting, tetapi mengapa pendidikan kita tidak memberdayakan juga para lulusan untuk menjadi pengusaha sukses?
Menurut saya, kewirausahaan membuka pintu bagi inovasi, kreativitas, dan keberanian mengambil risiko – hal-hal yang sangat diperlukan dalam menghadapi tantangan ekonomi masa kini.
Negara-negara maju memahami hal ini, dengan memasukkan pelajaran tentang bisnis dan enterpreneurship dalam kurikulum pendidikan mereka sejak dini.
Namun, di Indonesia, banyak lulusan terjebak dalam paradigma menjadi karyawan. Pengusaha dianggap sebagai pilihan terakhir, bukan pilihan utama.
Nah, Ini yang menciptakan ketidakseimbangan antara jumlah pekerja dan peluang bisnis yang sebenarnya ada di masyarakat. Para lulusan memasuki pasar kerja dengan ekspektasi menjadi bagian dari sistem, bukan menciptakan sistem baru.
Perubahan paradigma ini diperlukan. Pendidikan harus menjadi landasan bagi para pengusaha masa depan. Kewirausahaan harus diajarkan sebagai keterampilan yang esensial, bukan opsional.
Pembelajaran langsung melalui pengalaman praktis, pelatihan bisnis, dan pendampingan oleh para pengusaha sukses harus diintegrasikan dalam sistem pendidikan.
Pendekatan ini tidak hanya akan menciptakan lapangan kerja bagi orang lain, tetapi juga memberdayakan individu untuk menciptakan peluang kerja bagi diri mereka sendiri.
Sebuah masyarakat yang berbasis pada enterpreneurship bukan hanya bertumpu pada inovasi dan ekonomi yang kuat, tetapi juga menghargai keberanian individu dalam menciptakan perubahan.
Oleh karena itu, saat kita merenungkan fenomena pengangguran terdidik ini, mari juga merenungkan apakah pendidikan kita telah memberdayakan kaum muda untuk menjadi pemimpin bisnis masa depan.
Sebagai negara yang berkembang, Indonesia harus melihat kewirausahaan bukan hanya sebagai pilihan, tetapi sebagai keharusan. Dengan demikian, setiap lulusan tidak hanya mencari pekerjaan, tetapi juga menciptakan peluang bagi diri mereka sendiri dan masyarakat di sekitarnya.