Sejahtera Dengan Pola Konsumsi Orang Tua Di Desa

Moh. Luthfi
6 Min Read
a white car parked on a gravel road

niaga.media. – Cara konsumsi saat ini yang berlebihan telah memberikan dampak buruk terhadap kesehatan keuangan kita. Dengan berbagai aneka ragam produk, baik barang maupun jasa berkembang dengan pesat melalui motor penggerak “industry 4.0 dan Internet Of Things”. Perilaku konsumen sangat dipengaruhi teknologi digital dan perubahan gaya hidup.

Konsumen memang punyak kecenderungan untuk terus berubah, baik dari segi sikap, preferensi, dan prioritas. Tetapi masyarakat yang cenderung konsumtif membuat keuangan mereka boncos. Konsumen disasar melalui berbagai arah. Sangat sulit untuk tidak tergiur, apalagi pendekatannya menggunakan emosional dan gaya hidup.

Di era serba mudah dan serba cepat, arus keuangan (cash flow) akan mencapai titik nol bahkan minus sebelum waktunya ketika semua konsumsi kita tidak menggunakan asas kebermanfaatan dan kepantasan. Hampir semua manusia modern saat ini hidupnya tergantung terhadap pembiayaan lembaga keuangan. Kita telah dipaksa menjadi manusia robot, yang remotenya ada pada lembaga keuangan dan pengusaha.

Ayo bangkit dari konsumerisme dan hidonisme! Prinsip-prinsip konsumsi masyarakat desa bisa jadi referensi dalam setiap mengambil keputusan pembelian.

Asas kebermanfaatan dan kepantasan

Dalam mengambil keputusan pembelian, yang menjadi prinsip utama adalah nilai manfaat dari barang atau jasa tersebut. Jika memiliki manfaat untuk memenuhi kebutuhan primer dan kebutuhan dasar jasmani, maka melakukan pembelian adalah langkah terbaik.

Selain nilai manfaat, asas kepantasan dan kepatutan adalah prinsip utama dalam mengambil keputusan pembelian. Dalam melakukan gaya hidup, asas kepantasan menjadi rem yang bagus untuk mengindari konsumerisme. Sama seperti saat membeli baju, harus diukur dengan ukuran tubuh. Tidak ada gunanya membeli baju mahal tetapi terlalu besar. Lebih patut membeli baju tapi ukurannya pas meskipun tidak mahal. 

Dalam pribahasa orang madura, “mun juko’ pendang jek aguli bandeng“ (kalau ikan pindang jangan berperilaku seperti ikan bandeng). Artinya perilaku kita harus diukur dengan keberadaan dan pendapatan kita. Kalau orang miskin jangan bergaya hidup seperti orang kaya.

Ango’an aotang eber etembang aotang pesse (lebih baik berhutang nafsu makan dari pada berhutang uang)

Ada peribahasa yang menjadi fondasi saat kita tergiur dengan produk di pasar, yaitu Ango’an aotang eber etembang aotang pesse (lebih baik berhutang nafsu makan dari pada berhutang uang). Hutang nafsu makan bisa diganti di kemudian hari dengan melakukan perencanaan keuangan. Tetapi hutang uang akan jatuh pada kemiskinan secara perlahan.

Saat produk serba nudah diakses melalui media digital dan godaan gaya hidup muncul di medsos. Kemudian fasilitas kredit mempermudah transaksi, sehingga sangat sulit bagi kita untuk menghindari keputusan konsumtif.

Jalan satu-satunya adalah dengan menahan nafsu kita sambil melakukan perencanaan keuangan secara benar. Dari pada melakukan kredit, yang membuat pengeluaran untuk cicilan terus keluar bahkan pada saat kita tidurpun tetap keluar. Lebih baik membangun fondasi keuangan untuk masa depan.

Makan nggak makan asal kumpul

Kehidupan orang desa, hubungan kekeluargaan adalah segala-galanya. Bahkan walaupun tidak punyak uang untuk konsumsi asalkan tidak punyak hutang berkumpul adalah kebahagiaan yang tiada tara. Berkumpul, bercanda dan saling asih menjadi kekayaan yang tidak biasa diukur dengan uang.

Cara paling efektif ketika tidak punyak uang untuk konsumsi adalah berkumpul bersama keluarga, tetangga dan teman. Dengan demikian akan terhindar dari perbuatan hidonisme dan konsumtif. Makan nggak makan asal kumpul bukan hanya sekedar jargon, tetapi rem cakram untuk menghindari utang konsumtif.  

Menghindari Cicilan

Orang desa sangat menghindari untuk hutang cicilan berbunga. Bagi mereka hutang bunga adalah beban hidup bukan solusi hidup. Biasanya masyarakat desa berhutang ke orang tanpa bunga, berhutang ke tabungan tahunan tanpa bunga dan juga ada yang berhutang ke kas perkumpulan tanpa bunga.

Bagi masyarakat desa hutang itu candu. Ketika selesai berhutang ingin berhutang lagi untuk konsumsi bukan membuat perencanaan keuangan dengan sabar dan disiplin. Orang desa lebih sabar dan disiplin untuk mengumpulkan uang dengan cara menabung atau investasi asset. Setelah banyak baru melakukan transaski secara cash. Membeli motor bekas tapi tunai lebih baik dari pada membeli motor baru tapi kredit.  

Menghindari Invicible Spending

Invicible spending adalahpengeluaran yang datangnya dari penurunan nilai asset yang dimiliki. Menjadi tambah miskin tanpa terasa. Seperti inflasi (penurunan daya beli karena nilai uang yang terus menurun dibandingkan barang), harga barang pada saat dijual harganya jauh lebih murah dibandingkan harga beli.

Invicible spending bisa dilihat saat membeli barang baru melalui pembiayaan. Maka secara nilai waktu akan terjadi penurunan drastis. Waktu melakukan pembiayaan motor dengan harga Rp. 20.000.000,- maka saat dijual harganya akan terjun bebas. Belum lagi bunga cicilan yang terus terbang yang berbanding terbalik dengan harga jual yang terus turun.  Inilah yang akan membuat orang akan tertekan dengan waktu dan bunga.

Sadar atau tidak sadar, apapun yang kita lakukan dalam keseharian tentu memiliki cara konsumsi sendiri-sendiri. Yang penting kita berfikir logis tidak langsung terpengaruh dengan kehadiran produk.

Secara alamiah pun, perilaku kita akan jadi berbeda menghadapi produk di pasar. Apa pun yang kita lakukan, kita harus pintar memanfaatkan berfikir logis seperti orang tua di desa dalam berkonsumsi dan membawa diri kita disetiap situasi.

Share This Article